ICN News – Global Forum for Sustainable Resilience (GFSR), atau Forum Global untuk Ketahanan Berkelanjutan, resmi dibuka pada tanggal 11 September 2024, bersama dengan dibukanya Asia Disaster Management and Civil Protection Expo & Conference (ADEXCO) yang ketiga. Diadakan di JIExpo Kemayoran, forum global ini mengangkat tajuk “Menavigasi Ketakpastian: Memajukan Ketahanan Berkelanjutan di Tengah Perubahan Dunia [Navigating Uncertainty: Advancing Sustainable Resilience in a Changing World]” selama dua hari penyelenggaraannya. Diinisiasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Republik Indonesia bersama program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Manajemen Risiko Bencana, SIAP SIAGA, forum global ini akan dihadiri oleh berbagai perwakilan negara-negara ASEAN, Sekretariat ASEAN, perwakilan Uni-Eropa dan beberapa negara tetangga, pelaku industri mitigasi bencana dari berbagai negara, serta asosiasi terkait seperti CTIS (Centre of Technology and Innovation Studies) maupun IABI (Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia), dan berbagai institusi pendidikan.
Melihat kebelakang, ADEXCO pertama diselenggarakan bersama Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) edisi ke-7 oleh UN Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) di Bali pada 23-28 Mei 2022. Edisi keduanya diselenggarakan bersama dengan Rapat Koordinasi Penanggulangan Bencana (RAKORNAS PB) pada 2-3 Maret 2023. Di tahun ketiganya, ADEXCO diselenggarakan bersama GFSR dengan membawa latar belakang pencapaian penting dan refleksi atas peringatan dua puluh tahun Tsunami Samudera Hindia (IOT20) dan kondisi krisis lingkungan, ekologi, dan keanekaragaman hayati. GFSR 2024 menjadi platform kolaboratif bagi para pemangku kepentingan untuk mendorong konvergensi dan koherensi terkait dengan Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim, Kerangka Kerja Sendai tentang Ketahanan Risiko Bencana, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
GFSR yang kedua ini dibuka melalui sesi diskusi panel yang menghadirkan berbagai narasumber, antara lain Marco-Toscano Rivalta, selaku Kepala Badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) regional Asia-Pasifik, dan Ranjini Mukherjee, Director – Research, Knowledge Management & Capacity Development dari Coalition for Disaster Resilience Infrastructure (CDRI), sebuah multi-stakeholder global yang terdiri dari berbagai perwakilan pemerintahan dan berbagai sektor swasta multilateral dan institusi pendidikan, serta dihadiri oleh Aslam Perwaiz, Deputy Executive Director dari Asian Disaster Preparedness Centre (ADPC), organisasi internasional otonom untuk kerja sama dan implementasi pengurangan risiko bencana dan membangun ketahanan iklim di Asia dan Pasifik. Selain itu, perwakilan National Disaster Management Centre dari Brunei Darussalam, Colonel Muhd. Harrith Rashidi, serta penasihat senior SIAP SIAGA, Said Faisal, pun turut membagikan pengalaman dan pengetahuannya mengenai pentingnya kesiapsiagaan dan kolaborasi dalam menghadapi bencana, terutama bencana seperti Tsunami Aceh 2004.
Sesi panel diskusi bertajuk “Pembelajaran dari Tsunami Samudera Hindia (IOT20): Refleksi dan Prestasi [Lessons Learned from the Indian Ocean Tsunami 2004: Reflections and Achievements]” ini dimoderatori langsung oleh Dr. Raditya Jati, selaku Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB. “Melalui pengalaman dari tsunami di Aceh dua puluh tahun lalu, kita belajar bahwa resiliensi bencana sangat bergantung pada beragam faktor termasuk pemerintah, investasi, dan harus mengadopsi pendekatan terintegrasi, karena dampak bencana sangat kompleks, dengan tantangan beragam misalnya isu perempuan, anak-anak, lansia, bisnis, dan ekonomi lokal.” tegasnya.
Mengangkat tema pembelajaran terhadap Tsunami Samudera Hindia, bencana besar pada 26 Desember 2004 ini mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa pada 14 negara lebih, dan dianggap sebagai salah satu bencana alam paling mematikan di awal abad 21. Oleh karena itu, berbagai pihak menyoroti pentingnya kesiapsiagaan dan kolaborasi, terutama bagi negara-negara yang dilewati oleh lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. “Isu ketahanan adalah sesuatu yang terus berkembang seturut dengan semakin kompleksnya tantangan yang harus dihadapi. Untuk memastikan resiliensi berkelanjutan, tiga elemen kunci yang perlu diperhatikan adalah tata kelola yang inklusif, sistem pendanaan, usaha melokalkan demi adaptasi. Inklusivitas adalah elemen penting untuk menghadapi kompleksitas tantangan modern, karena kita perlu melihat resiliensi dari sudut pandang holistik. Kita juga harus menerapkan sistem pendanaan yang mengutamakan pencegahan dan ketahanan di sektor publik dan swasta. Dengan bantuan data dan teknologi, usaha melokalkan pengambilan keputusan memungkinkan adaptasi yang lebih tepat terhadap berbagai perubahan, sehingga bisa memastikan resiliensi berkelanjutan yang efektif,” papar Marco-Toscano Rivalta, Kepala UNDRR region Asia-Pasifik.
Penasihat senior SIAP SIAGA, Said Faisal, pun mengapresiasi adanya forum global ini dengan menyampaikan urgensinya atas forum-forum semacam ini. Ia menyoroti mengenai tiga pelajaran penting dari rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami, yaitu “Pertama, adanya sebuah organisasi pemerintah yang memiliki wewenang penuh untuk membuat keputusan dan bertindak langsung di lokasi yang membutuhkan. Kedua, adaptabilitas lebih penting daripada perencanaan, karena krisis sering kali tidak dapat diprediksi, sehingga rencana harus dapat menyesuaikan dengan situasi di lapangan. Ketiga, selama rehabilitasi dan rekonstruksi, fokus utama harus pada memberikan hasil nyata dalam waktu cepat untuk memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat, bukan terjebak dalam diskusi atau kebijakan yang berlarut-larut.”
Semua hasil diskusi pada panel diskusi ini diharapkan akan menentukan arah kebijakan multi-helix, yaitu kolaborasi multinasional antara pemerintahan, sektor swasta, badan penanggulangan bencana, institusi pendidikan, dan berbagai asosiasi terkait dari berbagai negara.
Iklan dan berlangganan bisa hubungi: WA atau Email
Butuh Buku Riset? Silahkan kunjugi CDMI Consulting