ICN News – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba). Aturan ini merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 tahun 2018. Salah satu poin penting aturan itu adalah mengenai ketentuan pemberian izin ekspor mineral bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi.
Pasal 51 ayat 2 menyebutkan izin ekspor diberikan jika kemajuan fisik pembangunan fasiltas pemurnian (smelter) telah memenuhi tingkat kemajuan, sesuai dengan rencana yang sudah diverifikasi oleh verifikator independen.
Dalam aturan sebelumnya, untuk mendapatkan rekomendasi penjualan ke luar negeri dilengkapi dengan dua persyaratan. Pertama, rencana pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri yang telah dilakukan verifikator independen. Kedua, melakukan verifikasi kemajuan fisik fasilitas pemurnian oleh verifikator independen.
Aturan tersebut sampai sekarang masih menjadi polemik. Penambang nikel tidak keberatan soal hilirisasi namun meminta adanya pembenahan tata niaga nikel yang dipasok ke smelter terlebih dulu.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K Lengkey mengungkap masalah tata niaga ini cukup berat, mulai dari harga yang terlalu murah yang dibeli oleh smelter sampai surveyor ‘bodong’ yang mengenakan tarif tanpa standar. Ini membuat penambang kewalahan.
Harga lokal 1,8% yang diterima cuma kira-kira Rp 300.000, atau US$ 24-25. Sedangkan kalau ekspor 1,7% berarti sekitar US$ 34 dolar per ton. Ini kadar rendah. Jadi, kadar tinggi dijual dengan harga serendah-rendahnya, kadar rendah diekspor dengan harga tinggi,” kata Meidy.
Menurut Meidy, rencana pelarangan ekspor ini memang terkesan terburu-buru, berdasar Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 dan ketentuan relaksasi ekspor di PP Nomor 1 Tahun 2017, untuk nikel memang harusnya mulai berlaku pada 12 Januari 2022. Namun, tiba-tiba ada kabar larangan ekspor dipercepat dan berlaku pada tahun ini.
Kabar percepatan larangan ekspor datang pertama kali dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan pada 12 Agustus 2019. Alasannya, ia yakin stok nikel dari larangan ekspor masih bisa diserap dalam negeri oleh smelter (pabrik pemurnian) yang kini beroperasi.
Luhut menegaskan tujuan utama pelarangan ekspor adalah untuk menggenjot hilirisasi, contohnya bijih nikel seharga US$ 36 bisa naik nilainya menjadi US$ 100 jika ditingkatkan menjadi feronikel dan metal untuk jadi bahan stainless steel.
Sejak saat itu, kontroversi pelarangan ekspor bijih nikel itu pun bergulir sampai saat ini. Kebijakan tersebut dinilai untuk mendorong hilirisasi mineral dalam negeri. Apalagi larangan ekspor mineral mentah juga telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Pemerintah selama ini mendorong pengusaha per-tambangan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) skala kecil bekerja sama dengan perusahaan yang membangun smelter untuk mensuplai kebutuhan pengolahan. Bagi IUP yang skala kecil diminta bergabung untuk kerja sama membangun fasilitas smelter, karena tanpa dilakukan pengolahan, mineral hasil pertambangan tidak akan bisa diekspor.
ESDM juga telah meminta kepada perusahaan pertambangan yang akan membuat fasilitas smelter untuk menambah kapasitas pengolahannya hingga 20 persen. Agar dapat menampung IUP skala kecil.
Dengan adanya pelarangan ekspor, nikel berarti dipasok ke pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter.
Artikel ini bisa dibaca di Majalah ICN News Edisi Juni 2025
Iklan dan berlangganan bisa hubungi: WA atau Email
Butuh Buku Riset? Silahkan kunjugi CDMI Consulting